Hitung-hitungan Hasil IPO, BUKA Lebih Sukses Raup Dana Segar daripada GoTo
JAKARTA -- PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk bakal melantai di Bursa Saham Indonesia (BEI) pada 4 April 2022. Adapun investor sudah bisa mulai memesan saham saat masa book building pada 15-22 Maret 2022 di rentang harga Rp 316-Rp 346 per saham. Dari prospektus, GoTo bakal melepas 48 miliar saham baru seri A dengan opsi penambahan sebanyak-banyaknya 52 miliar saham dalam menyambut initial public offering (IPO) atau rencana penawaran umum perdana saham.
Jumlah saham yang dilepas mewakili 4,35 persen dari modal ditempatkan dan disetor penuh perusahaan. Sementar itu, kapitalisasi pasar GoTo diperkirakan antara Rp 376,6 triliun sampai Rp 413,7 triliun Dengan harga saham di kisaran Rp 316-Rp 346, GoTo diproyeksikan bakal menghimpun dana sekurang-kurangnya Rp 15,2 triliun dan maksima Rp 17,9 triliun. Angka IPO termasuk salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Sayangnya, dari prospektus yang dirilis ternyata GOTO membukukan rugi Rp 22,8 triliun (2021E). Adapun jika merujuk laporan keuangan, GoTo mencatatkan kerugian Rp 14,20 triliun sepanjang 2020, dan per September 2021, masih rugi Rp 11,58 triliun.
Banyak pihak membandingkan IPO GoTo yang harganya jauh di bawah PT Bukalapak TBk (BUKA) yang berani memasang harga Rp 850. Dengan melepas kepemilikan 25 persen saham, BUKA pada Agustus 2021, mampu mengumpulkan dana masyarakat sebanyak Rp 21,9 triliun. Sempat menyentuh angka 1.000, kini emiten BUKA diperdagangkan Rp 276 setelah mengalami auto reject bawah (ARB) pada perdagangan Selasa (15/3/2022).
Chief Executive Officer (CEO) GoTo Andre Soelistyo menjelaskan, langkah IPO menjadi salah satu momen paling membanggakan dalam sejarah perseroan, sebelum menjadi perusahaan terbuka yang tercatat di BEI. Dia menyebut, Indonesia adalah salah satu pasar dengan pertumbuhan terbesar dan paling menarik di dunia, sebagaimana tercermin dari ketahanan pasar modal.
"Kami berharap IPO GoTo akan menunjukkan kepada dunia peluang luar biasa yang ada di Indonesia dan di seluruh kawasan Asia Tenggara," ucapnya di Jakarta, Selasa.
Di lini masa, khususnya Twitter, tidak sedikit yang mengulas jika IPO yang dilakukan GoTo sebagai exit strategy perusahaan untuk mendapatkan dana segar. Dengan kas sekitar Rp 20,49 triliun per 31 Juli 2021 maka hasil IPO secara maksimal yang didapatkan setidaknya hanya cukup untuk menutup operasional kerugian satu tahun perusahaan.
Dibandingkan dengan BUKA saat IPO yang mencatat rugi Rp 1,34 triliun sepanjang 2020, namun perseroan mampu mengumpulkan dana masyarakat Rp 21,9 triliun. Sehingga perusahaan yang didirikan Achmad Zaky tersebut jauh lebih sukses dalam melepas kepemilikan saham.
Berarti BUKA bisa mendapatkan dana segar hampir 20 kali kerugian perusahaan dalam setahun. Kesuksesan BUKA itu terjadi lantaran momentum yang tepat saat IPO kala market sedang hype dengan saham teknologi. Sehingga semua saham yang dilepas mampu diserap pasar.
Adapun anggap saja GoTo sukses dalam menggelar IPO maka duit yang diterima sekitar Rp 15,2 triliun maka angkanya hampir setara dengan kerugian sepanjang 2021 sebesar Rp 14,20. Dana yang didapatkan masyarakat belum sebanding denganpemasukan untuk menutup operasional perusahaan beberapa tahun ke depan.
Dengan data tersebut maka sekarang rasio keuangan BUKA lebih kuat dan sehat dibandingkan GoTo. Bahkan, dengan dana kas Rp 21,9 triliun maka jika BUKA rugi selama 20 tahun pun masih bisa tetap beroperasi dari uang yang didapat dari IPO.
Belum lagi, tidak ada jaminan juga jika GoTo ke depannya tidak merugi. "Perusahaan telah mencatatkan rugi bersih sejak didirikan, dan perusahaan mungkin tidak dapat mencapai profitabilitas," demikian keterangan di halaman 173 dari 967 halaman prospektus.
Seorang konsultan Gilang Mentari Hamidy pun membuat analisis kelemahan IPO GoTo hingga cicitannya menjadi viral di Twitter. Gilang menyebut, kebijakan IPO lantaran para investor ingin meninggalkan kepemilikan saham perusahaan untuk dilepas kepada masyarakat.
"Ha ha ha. Dari dulu gue sudah prediksi kalau merger ini memang buat menyelamatkan si Go. Karena doi memang yang gak visible secara business model. Hampir 10 tahun gak bisa mengembangkan revenue dan terus-terusan bakar duit, ya ketar-ketir lah investornya kalau duit cuma jadi goodwill," ujarnya lewat akun @GilangHamidy.