Umum

Gerakan Ekonomi Sirkular Bantu Pemulung Kumpulkan Sampah Plastik

Pemulung mencari sampah plastik di TPA Sampah Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Senin (23/9/2019).
Pemulung mencari sampah plastik di TPA Sampah Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Senin (23/9/2019).

JAKARTA -- Indonesia memproduksi sekitar 93 juta sampah sedotan plastik per tahun. Dirjen Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Rosa Vivien Ratnawati pun mengajak publik menghindari pemakaian sedotan demi mengurangi pencemaran sampah plastik yang kian mengkhawatirkan.

"Sampah sedotan plastik itu kalau disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko. Itu semua adalah sampah. Kalau bisa jangan dipakai lagi deh," katanya dalam sebuah diskusi daring bertajuk 'Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim' yang diprakarsai Universitas Indonesia (UI) dan Le Minerale di Jakarta, Sabtu (5/3/2022).

Dia menuturkan, persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan. Hal itu mengingat dampaknya yang sangat besar bagi perubahan iklim di level global. Rosa menyebut, meski pemerintah telah berupaya keras untuk menekan pencemaran sampah plastik di lingkungan bebas, warga juga dapat berpartisipasi dengan mengadopsi pola pikir baru terkait pengelolaan sampah plastik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Kesadaran individu yang paling utama. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab pemerintah daerah semata," ucap Rosa.

Ahli teknologi produk plastik dari UI, Prof Mochamad Chalid menyatakan, terlepas dari banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang "relatif lebih ramah lingkungan" daripada kemasan lainnya semisal yang berbasis kertas. "Analisis life cycle assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperkukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim," katanya.

Chalid menuturkan, plastik sejatinya material yang 'eksotik', yang punya banyak keunggulan dari sisi ekonomi, kepraktisan, dan pemanfaatan dalam skala massal. Meski begitu, sambung dia, plastik bukan tanpa kekurangan, terutama waktu penguraian di alam yang perlu puluhan hingga ratusan tahun alias lebih panjang dari usia manusia.

Direktur Sustainability Development Le Minerale, Ronald Atmadja mengatakan, perusahaannya aktif mendukung gerakan ekonomi sirkular dengan membantu pemulung dan lapak di berbagai kota mengumpulkan lebih banyak sampah plastik agar bisa diolah dan dijual kembali untuk memenuhi keperluan industri daur ulang dalam negeri. "Program kerja sekaligus untuk mendukung target Kementerian Lingkungan Hidup mengurangi impor sampah bekas (scrap) yang saat ini mencapai 50 persen dari kebutuhan industri daur ulang," katanya.

Menurut Ronald, warga juga perlu didorong untuk membiasakan memilah sampah sejak dari level rumah tangga. Selama ini, kata dia, banyak orang kerap membuang sampah plastik begitu saja, dan digabungkan dengan sampah rumah tangga lainnya. Bahkan, ada yang dicampur dan dimasukkan dalam kemasan plastik yang lain.

"Akibatnya, sampah plastik yang bernilai ekonomi tinggi ikut tercemar dan pada akhirnya tercecer di lingkungan, semisal tempat pembuangan akhir sampah. Ini sejatinya lost opportunity, mengingat sampah plastik tak bisa dikembalikan lagi ke hulu industri untuk pengolahan kembali," kata Ronald.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Eagle flies alone...