Nasional

Naskah Akademis Keppres Nomor 2 Tahun 2022, Ejek Orde Baru, Puji Presiden Jokowi

Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang diadakan di kompleks Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta, Selasa (1/3/2022)
Peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang diadakan di kompleks Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta, Selasa (1/3/2022)

JAKARTA -- Perdebatan di publik tentang Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara terus bergulir. Menyikapi hal itu, akun Twitter Humas Pemda DIY, @humas_jogja, akhirnya merilis naskah akademik setebal 130 halaman sebagai kajian terbitnya Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu.

Naskah yang dibuat Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2022 ini tautannya tercantum di laman resmi Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, bukan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY.

Ada yang unik di Bab VI Penutup, yang masuk halaman 117 berjudul 'Serangan Umum 1 Maret 1949 Sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara'. Tim penulis naskah akademik yang terdiri Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, dan Ahmad Faisol membuat empat poin terkait penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Yang menggelitik penulis adalah poin nomor tiga yang terdiri lima angka. Berikut sebagian isi naskah akademik tersebut.

Tantangan dan ancaman kontemporer terhadap kedaulatan negara itu adalah:

a) Sejak pemerintah Orde Baru, Indonesia telah terjebak dalam praktik neo-imperialisme yang hendak mengambil alih kedaulatan ekonomi Indonesia dengan memaksakan negara menandatangani berbagai kontrak pengelolaan sumber daya ekonomi yang vital, yang sangat merugikan bangsa dan negara. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kedaulatan ekonomi Indonesia perlahan-lahan dapat diambil alih dari tangan asing.

b) Gerakan separatisme dari dalam masih menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh negara. Sedangkan dari luar, dukungan internasional atas upaya separatisme masih ada, misalnya Gerakan Papua Merdeka dan dukungan dari beberapa negara di Pasifik.

c) Gerakan dari dalam mengganti ideologi negara untuk digantikan dengan ideologi asing masih dilakukan, misalnya upaya mengusung ideologi khilafah.

Di halaman 73, huruf D berjudul 'Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sisstem Baru yang akan Diatur dalam Keputusan Presiden', dijelaskan puka jika kajian akademis yang baru tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 telah diseminarkan pada lingkup daerah dan nasional dalam berbagai seminar lokal dan nasional, yang melibatkan para pakar sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.

"Antara lain, Dri Sri Margana (UGM), Julianto Ibrahim (UGM) Prof Nina Herlina Lubis (Unpad), Prof Gusti Asnan (Unand), Dr Suryadi Mapangara (Unhas), Dr Abdul Syukur (UNJ), Hilmar farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Prof Mahfud MD (Menko Polhukam), Prof Wildan (Staf Ahli Setneg) merekomendasikan agar peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dijadikan sebagai Hari Nasional," demikian kajian naskah akademik dikutip di Jakarta, Sabtu (5/3/2022) malam WIB.

Dari timeline Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dibuat tim penulis, nama Sukarno-Hatta hanya disebut beberapa pada 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 19 Desember 1948 ketika menyelenggarakan sidang mempersiapkan skenario untuk menyelamatkan Indonesia. Keputusan sidang, di antaranya mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat, Sukarno-Hatta memutuskan bertahan di ibu kota negara dan melanjutkan perjuangan secara diplomatik, serta memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk terus melakukan perlawanan dengan siasat perang gerilya.

Sejak 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda, dan diasingkan. Pada 6 Juli 1949, Sukarno-Hatta yang ditangkap belanda kembali ke Yogyakarta. Dari sini, terlihat sama sekali tidak ada kaitan langsung yang dilakukan Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Bahkan, penguasa PDRI Syafruddin Prawiranegara juga tidak terlibat.

Sejarawan sekaligus budayawan Fadli Zon menilai, penyusunan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara salah besar. Menurut Fadli, tidak ada peran Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Karena itu, ia mempertanyakan, Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu tidak akurat.

"Saya sudah baca Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah banyak salah," kata wakil ketua umum DPP Gerindra itu

https://twitter.com/humas_jogja?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1500093869031329793%7Ctwgr%5E%7Ctwcon%5Es2_&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.republika.co.id%2Fberita%2Fr8a1ri484%2Fnaskah-akademik-keppres-1-maret-dibuka-ke-publik-mahfud-md-terlibat-beri-rekomendasi

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Eagle flies alone...