Kepala BIN Analisis Ancaman Suicide Drone di IKN Nusantara

Pertahanan  
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn) Budi Gunawan.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn) Budi Gunawan.

JAKARTA -- Badan Intelijen Negara (BIN) membuat analisis berbagai sektor terkait pemindahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta ke wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Kepala BIN Jenderal (Purn) Budi Gunawan menjelaskan, selain pendekatan geografis dan sosial ekonomi, kebijakan pemindahan IKN juga perlu ditinjau dari pendekatan pertahanan dan keamanan.

Pasalnya, IKN adalah simbol kedaulatan negara yang potensial terhadap ancaman. Sejarah penaklukan suatu negara memberi catatan penting bahwa penaklukan suatu negara secara de facto ditandai dengan keberhasilan dalam menduduki IKN.

"Dalam konteks ini, sebagaimana yang telah diterapkan di banyak negara, konsep pemisahan IKN sebagai pusat pemerintahan dengan kota-kota besar lainnya, termasuk Jakarta, sebagai pusat ekonomi dapat meminimalisasi aspek kerentanan (vulnerability) ancaman pertahanan dan keamanan," ucap Budi dalam pernyataannya di Jakarta, baru-baru ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Menurut dia, terpusatnya lokasi pemerintahan dan ekonomi sebagai bagian dari infrastruktur kritis (critical infrastructure) berpotensi menjadi sebuah kerugian besar apabila terjadi serangan dan gangguan keamanan dan pertahanan. Budi menjelaskan, pemerintah berencana mewujudkan smart city bagi IKN di Kaltim yang mengadopsi kemajuan teknologi, khususnya internet of things (IoT).

Hal itu sebagaimana dilakukan banyak negara di dunia yang menggerakkan sumber daya strategis melalui teknologi yang kompleks, seperti tenaga listrik, finansial, pelayanan publik, transportasi publik, termasuk lalu lintas darat, laut dan udara, serta minyak bumi dan gas, serta sumber daya strategis lainnya. "Namun, kemajuan teknologi yang membawa kemudahan, efektivitas dan efisiensi, juga memberi arena baru bagi peperangan hibrida dengan mengeksploitasi kerentanan dalam pertahanan dan keamanan suatu negara," ucap Budi.

Berbagai bentuk ancaman seperti peretasan ke infrastruktur kritis, unmanned aerial vehicle (UAV) atau suicide drone, rudal jarak jauh, pencurian data strategis, spionase dan post truth di media sosial, radikalisasi di dunia maya, aksi terorisme dan ancaman lainnya yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia dapat saja terjadi di IKN. Oleh karena itu, menurut Budi, pada perencanaan arsitektur pertahanan dan keamanan IKN yang akan mengadopsi smart defense, Indonesia perlu mengambil momentum untuk menajamkan rumusan postur, doktrin, dan strategi sumber daya pertahanan dan keamanan dalam menghadapi ancaman hibrida.

"Baik yang berdimensi militer dan nonmiliter. Khususnya dalam mengadopsi teknologi terkini yang mendukung adanya sistem interoperabilitas dan network centric warfare. Hal ini sebagaimana yang dilakukan banyak negara di dunia sebagai bagian dari revolutionary in military affairs (RMA)," kata mantan Wakil Kepala Polri tersebut.

Budi melanjutkan, pemindahan IKN dari Jakarta ke Nusantara juga memiliki implikasi penguatan pertahanan. Dari aspek geostrategi, sambung dia, Indonesia akan memiliki strategic depth yang lebih dalam. Hal itu mengingat Pulau Kalimantan memiliki luas enam kali Pulau Jawa.

Selain itu, juga akan memungkinkan terbangunnya klaster industri pertahanan yang terintegrasi sebagai syarat terwujudnya indigenous defense productions atau produksi alutsista mandiri buatan dalam negeri. "Ini akan memungkinkan Indonesia memanfaatkan dinamika geopolitik di Indo-Pasifik dengan mendayung di antara aliansi-aliansi regional seperti Five Power Defence Arrangements (FPDA), AUKUS, dan OBOR/BRI Cina," kata Budi.

Dibentuknya AUKUS, juga hadirnya kekuatan beberapa anggota NATO di kawasan, Budi menilai, semakin menegaskan bahwa konstelasi geopolitik kekuatan negara-negara di dunia bergeser ke Asia Pasifik. Hal itu merupakan sinyal kuat bagi negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia untuk mencegah, sekaligus bersiap terjadinya peningkatan eskalasi hingga kemungkinan terburuk adanya perang terbuka sebagaimana adagium klasik, yaitu si vis pacem para bellum (jika ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang).

Meskipun, secara resmi AS, Inggris, dan Australia mengumumkan dibentuknya AUKUS adalah untuk mendorong stabilitas keamanan di kawasan Indo-Pasifik dan tidak untuk melanggar Traktan Non-Proliferasi Nuklir di kawasan, Budi mengingatkan, tidak ada jaminan bahwa kapal selam nuklir tidak akan hilir mudik di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Laut Teritorial Indonesia. "Untuk itu, Indonesia perlu aktif berperan dalam memperkuat diplomasi pertahanan di kawasan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) dan pengembangan kapasitas (capacity building)," kata Budi.

Sebab, kata dia, Indonesia memiliki posisi yang unik karena memiliki berbagai kerja sama strategis di bidang ekonomi, maritim dan keamanan, baik dengan negara anggota AUKUS, FPDA, dan Cina. Keunikan itu, bagi Budi, dapat menjadi keuntungan Indonesia untuk berperan secara diplomatik, baik untuk mendorong ASEAN membuat joint statement ataupun secara mandiri untuk memastikan semua pihak tidak memicu adanya konflik terbuka dan perlombaan senjata di kawasan.

"Khususnya dalam mematuhi kewajiban untuk menjaga kawasan yang bebas nuklir, menjaga stabilitas keamanan dan menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Di sisi lain, pemindahan IKN ini juga menjadi momentum Indonesia untuk gelar kekuatan dalam memperketat penjagaan di wilayah ALKI dan perairan yang berbatasan dengan wilayah Indo-Pasifik," kata Budi.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image