Ekonomi

Dirut Curhat Proyek LRT Jabodebek Jadi Beban PT KAI

LRT Jabodebek.
LRT Jabodebek.

JAKARTA -- Direktur Utama (Dirut) PT KAI Didiek Hartantyo mengatakan, pembangunan LRT Jabodebek dilakukan tanpa melalui perencanaan yang governance. "Saya puluhan tahun di perbankan, dan menangani proyek infrastruktur pada saat mendesain corporate financing, project financing maka perencanaan harus menjadi kunci," ucap Didik saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (6/7/2022).

Termasuk dengan defisit uang kas harus ikut direncanakan dalam membangun proyek. Didik menyebut, pembangunan LRT Jakarta tidak seperti itu. Pihaknya pun sedang berusaha menyelesaikan masalah tersebut.

Didik menerangkan, riwayat pembangunan LRT Jabodebek dimulai pada 2015. Dia menyebut, saat itu, perusahaan kontraktor BUMN dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana membangun LRT hingga keluar peraturan presiden (perpres). "Nah dibangunlah LRT. Namun dalam perjalanannya waktu di 2017 itu belum ada kontrak antara kontraktor dengan Kemenhub, kontraktornya itulah salah satu BUMN kesulitan," ucap Didik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Hal itu terjadi karena BUMN karya sudah mengeluarkan banyak uang untuk membangun sarana dan prasarana LRT, tidak ada alamat untuk menagih hasil pembangunan. Kondisi itu terjadi karena memang tidak ada kontrak yang diteken antara BUMN dan Kemenhub.

"Nah 2017 itulah Menteri Keuangan menyampaikan bahwa keuangan negara tidak memungkinkan untuk menggelontorkan Rp 29,9 triliun bangun ini," kata Didik. Dia menambahkan, Menkeu Sri Mulyani berjanji untuk membayar tunggakan pembangunan LRT dengan cara mencicil.

Kondisi itu jelas tidak sesuai dengan pembangunan model bisnis dalam undang-undang. Hal itu membuat pembangunan infrastruktur dan sarana menjadi satu proyek. Sehingga semua itu menjadi beban ke operator, yaitu PT KAI. "2017 itu kami dipanggil karena PT KAI yang bisa diberi PSO. Artinya PSO kepada penumpang dilewatkan kepada KAI. Namun, PSO kan harusnya kepada penumpang, karena infrastruktur sudah ada," kata Didik.

Namun, untuk pembangunan LRT Jabodebek, infrastruktur malah dibangun oleh PT KAI. Sehingga proyek penugasan kepada PT KAI terkait LRT agak aneh. "Pemilik proyek Kemenhub, kontraktornya di (BUMN) karya, Perpres 49, KAI sebagai pembayar. Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49 itu, ini sesuatu yang tidak wajar, namun ini dalam rangka untuk menyelesaikan Proyek Strategis Nasional," kata Didik.

Dia menyinggung, proyek LRT yang menelan Rp 29,9 triliun, sekitar Rp 4 triliun untuk sarana berupa rangkaian kereta, dan Rp 25 triliun untuk prasarana. Kalau di PT KAI, investasi berasal dari utang. "Kami berutang itu Rp 20 triliun sendiri. Jadi bagaimana kami mengembalikan utang itu kalau tidak di top up oleh pemerintah untuk pengembalian infrastruktur ini," kata Didik.

Dia menambahkan, proyek LRT mendesainnya sudah tidak benar sejak awal. "LRT menjadi bagian KAI, dan menjadi beban Pak," terang Didik menegaskan.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Eagle flies alone...