MD Forhati Minta PN Surabaya Cabut Putusan yang Tetapkan Nikah Beda Agama
JAKARTA -- Koordinator Presidium Majelis Daerah (MD) Forhati Surabaya Alfiah Sufiani menyoroti perkawinan antara pasangan yang beragama Islam dan Kristen pada Maret 2022, yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebagai pasangan suami istri. Namun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya menolak melakukan pencatatan.
Adapun isi dari penetapan tersebut berbunyi: "Memberikan izin kepada Para Pemohon (sepasang yang akan menikah beragama Islam dan Kristen) untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Surabaya. Penetapan tersebut diketok oleh hakim tunggal Imam Supriyadi. Putusan untuk mengizinkan perkawinan beda agama ini ditetapkan dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby".
Alfiah menjelaskan, merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasangan berbeda agama dan keyakinan bertentangan dengan Pasal 2 (1) yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Selain itu, Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP_ Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan, tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. "Jadi, UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan antaragama tidak dapat dilakukan," ujar Alfiah di Jakarta, Sabtu (25/6/2022).
Menurut dia, Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak beragama Islam. Fuqaha sepakat bahwa perkawinan seorang perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik ahlul kitab atau musyrik tidak sah.
"Beruntungnya penetapan dari PN Surabaya ini ditolak oleh Dispendukcapil Kota Surabaya, karena ini akan berkaitan dengan administrasi akta nikah dan administrasi kependudukan lainnya," ujar Alfiah.
Dia menyebut, putusan PN Surabaya terkait erat dengan NTCR (nikah, talak, cerai, rujuk). Untuk pasangan yang beragama Islam, bisa mengoptimalkan fungsi Peradilan Agama (PA) yang menggunakan rujukan hukum agama Islam, KHI, dan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kasus pernikahan beda agama yang telah diputuskan oleh PN Surabaya, jika menggunakan rujukan UU Nomor 1 Tahun 1974, jelas bertentangan antara isi UU dengan hasil penetapannya.
"Di sinilah kelemahan dari penetapan putusan tersebut dari sisi legal standing nya. Artinya, sebagai Lembaga peradilan, PN Surabaya telah membuat keputusan yang kurang bijaksana dan tentunya bertolak belakang dengan rujukan-rujukan hukum yang berlaku di negeri ini," kata Alfiah.
Sekretaris Umum MD-Forhati Surabaya Maisun Ihsan menambahkan, keluarga adalah tiang negara. Masa depan suatu negara tercermin dari keluarga yang ada di negeri tersebut. "Dan fondasi serta pilar utama keluarga adalah agama," katanya.
Karena itu, kata Maisun, seruan agar menjadikan agama sebagai fondasi utama memilih istri adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh kaum laki-laki ketika akan menikah. Hal itu pulalah mengapa menikah dengan yang seagama menjadi hal yang utama bagi calon pasangan yang akan menikah. "Karena dari ibu yang baik agamanya (dan yang sama agamanya dengan suaminya), akan baik pula pendidikan karakter anak dan suasana rumah tangga yang dibangun oleh pasangan tersebut," ucapnya.
Maisun menegaskan, peringatan yang sangat jelas dari ayat Alquran dan hukum positif yang masih berlaku, jelas menjadi dasar penolakan terhadap penetapan dari PN Surabaya terkait perkawinan berbeda agama. "Untuk itu, MD Forhati Surabaya meminta dengan tegas, agar penetapan tersebut dicabut agar tidak menimbulkan potensi polemik di masyarakat," kata Maisun.