Umum

Wabah PMK di Indonesia Berasal dari Impor Sapi India dan Omnibus Law

Anggota Komisi IV DPR drh H Slamet.

JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR drh H Slamet mengatakan, maraknya penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak diduga berasal dari keputusan Kementerian Pertanian (Kementan) mengimpor sapi dari Indonesia. Dia mengaku, sudah mengingatkan ketika pemerintah membuka keran impor sapi berbasis zonaisasi, bukan negara.

Ketika akhirnya Kementan mengimpor sapi dari Indonesia yang harganya lebih murah, mendadak wabah PMK menyebar di seluruh Indonesia. Ribuan hewan ternak milik warga tiba-tiba mati secara bersamaan di berbagai daerah. Kedatangan sapi impor asal India yang memang belum bebas PMK dicurigai sebagai sumber penyebaran wabah tersebut.

"Pastikan impor ini dari negara bebas PMK, saat itu lagi ramai-ramainya komoditas dari India. Hari ini terbukti (penyakit) ini masuk (Indonesia)," kata Slamet dalam unggahan video rapat dengar pendapat (RDP) bersama Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Slamet mengunggah video RDP melalui akun Twitter @drh_slamet dikutip di Jakarta, Ahad (12/6/2022). Dia pun merespon pertanyaan warganet tentang wabah PMK sebenarnya pernah terjadi di Indonesia saat masih dijajah Belanda pada 1887. Kemudian, berkat kerja keras pemerintah, wabah PMK terakhir di Jawa ditemukan pada 1983. Kunci sukses pemberantasan PMK adalah vaksin massal kepada hewan ternak milik masyarakat.

Pada 1986, pemerintah mendeklarasi secara nasional status Indonesia bebas PMK. Hal itu ditandai terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 260/Kpts/TN/510/5/1986. Empat tahun berselang, Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengeluarkan resolusi OIE Nomor XI Tahun 1990 berisi pengakuan Indonesia yang sudah bebas PMK. "Indonesia bebas PMK tahun 90. Itu diakui lembaga internasional. Jadi kebanggaan bagi kami mahasiswa fakultas kedokteran hewan saat itu," kata Slamet yang kuliah di Universitas Udayana, Bali ini.

Menurut Slamet, Indonesia untuk bisa mendapatkan pengakuan bebas PMK dari lembaga internasional membutuhkan kerja keras dan bertahap dengan banyak langkah. "Untuk mendapatkan itu bukan simsalabim, tapi butuh waktu puluhan tahun," ujarnya.

Sayangnya, pemerintahan sekarang untuk sekadar mempertahankan prestasi pendahulunya tidak bisa. Yang terjadi adalah wabah PMK kembali marak dan menyerang hewan ternak milik warga. "Bayangkan 30 tahun kita bebas PMK. Hingga anak-anak muda gak tahu ini penyakit apaan. Pemerintahan berganti namun status bebas PMK itu bisa terus dijaga dengan baik," kata Slamet.

Ketika ditempatkan di Komisi IV DPR pada 2019, Slamet merasa kaget mendapatkan realita Indonesia pada periode kedua pemerintahan Jokowi membuka keran impor dari negara yang belum dinyatakan bebas dari PMK, salah satunya India. Sebelumnya, legislator daerha pemilihan (dapil) Jawa Barat IV ini duduk di Komisi VI DPR. Dia pun menuding kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat ceroboh.

Slamet juga menyoroti, mudahnya pemerintah mengimpor bahan pangan dari luar negeri berkat berlakunya Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menurut dia, banyak orang tertipu jika urusan UU Cipta Kerja hanya berdampak kepada masalah buruh saja. Padahal, sambung dia, perubahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi kemudahan bagi aktivitas impor. "Tentu ini merugikan petani dalam negeri. Sebab, ketika pemerintah memberikan kemudahan impor, produk pertanian kita terancam tidak terserap," kata politikus PKS tersebut.

Dia pun menuding berlakunya Omnibus Law turut memicu penyebaran PMK di Indonesia. Dia membandingkan Pasal 36B UU Nomor 41 Tahun 2014 dan perubahan dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Pada Pasal 36B ayat (1) UU lama berbunyi, "Pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat."

Adapun klausul itu pada UU Cipta Kerja diubah menjadi. "Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat." Memang terlihat mirip, namun sangat berbeda sekali prinsipnya.

Menurut Slamet, perubahan UU itu sudah dikritik PKS karena ditakutkan menjadi sinyal kuat bahwa impor produk hewan bisa dilakukan kapan saja tanpa adanya klausul produksi dalam negeri tercukupi. "Jadi mau kurang, lebih, gagal panen, atau swasembada tetap bisa impor. Ya akhirnya kejadian seperti sekarang," ujar Slamet.

Selain itu, ayat dua lebih ekstrem lagi perubahannya. Dulu hanya boleh impor sapi 'bakalan, kini di Omnibus Law kata itu hilang. "Ini salah satu contoh saja, bagaikan Omnibus melonggarkan syarat import hewan ternak," ucap Slamet.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Eagle flies alone...