Fadli Tuding Mahfud dan Jokowi Belokkan Sejarah karena Hilangkan Nama Soeharto

Nasional  

JAKARTA -- Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon menuding Menko Polhukam Mahfud MD berusaha membelokkan sejarah dengan meniadakan nama Letkol Soeharto dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022. Fadli menyebut, argumen Mahfud terkesan dipaksakan yang menganggap nama Soeharto ada dalam naskah akademik, sehingga tak perlu disebut dalam keppres.

Apalagi, dalam keppres itu nama Sukarno dan M Hatta disebut ikut berperan mencetuskan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Padahal, sejak 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta menjadi tawanan Belanda hingga diasingkan ke Bangka. Adapun penguasa saat itu adalah Syafruddin Prawiranegara melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Syafruddin memimpin Kabinet Darurat melalui pelosok Sumatra Barat untuk menunjukkan ke dunia luar jika Indonesia masih eksis dan terus melawan Belanda.

"Keliru Pak @mohmahfudmd. Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, Sukarno dan Hatta masih dlm tawanan di Menumbing. Pemerintahan dipimpin PDRI (Pemerintah Darurat RI) dibawah Sjafroeddin Prawiranegara," kata Fadli di akun Twitter @fadlizon di Jakarta pada Kamis (3/3/2022).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Karena peran Sukarno-Hatta tidak ada sama sekali dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, Fadli pun mempertanyakan mengapa pemerintah memaksakan figur keduanya untuk masuk dalam keppres. Adapun yang nyata-nyata berkontribusi, yaitu Letkol Soeharto yang merupakan salah seorang kepercayaan Jenderal Soedirman malah dinihilkan perannya. Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949, Soeharto menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.

"Tak ada gagasan dari Sukarno dan Hatta dalam peristiwa ini. Jangan belokkan sejarah!" kata Fadli.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie merasa ia kurang tepat jika ditanya tentang masalah sejarah Indonesia. Meski begitu, ia menanggapi jika kontroversi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022, sebagai upaya menghilangkan peran Jenderal Soeharto dari sejarah.

"Kenapa tidak tanya sejarawan, seperti Taufik Abdullah, Anhar Gonggong, atau Azyumardi Azra? Kalau di masa Orba terjadi gelombang de-Soekarnoisasi tiga dasawarsa, maka di zaman sekarang sedang terjadi de-Soehartoisasi juga sudah lebih dari dua dasawarsa," kata Jimly ketika dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

Dalam Keppres yang diteken Jokowi di Jakarta pada 24 Februari 2022, hanya nama Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Soedirman, serta Sukarno dan M Hatta yang disebut ikut berperan mencetuskan serangan yang meninggalkan luka besar bagi militer Belanda tersebut. Peran Presiden ke-2 RI benar-benar dinihilkan.

"Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya, merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional serta telah berhasil menyatukan kembali kesadaran dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia," demikian bunyi Keppres Nomor 2 Tahun 2022.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image